Muhammadiyah dan NU Berbeda Dalam Menyikapi Pemulangan WNI Ex ISIS
11 Februari 2020 08:20 WIB | dibaca 895
Dua organisasi keagamaan terbesar Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), berseberangan dalam menyikapi WNI eks ISIS yang kini terdampar di kamp pengungsian Suriah. Perbedaan semacam ini lumrah dalam keberagaman.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyetujui pemulangan sekitar 600 WNI tersebut. Pemulangan itu, katanya, berdasar pertimbangan kemanusiaan, politik, dan hukum.
"Biarkan mereka masuk ke Tanah Air, tapi kemudian diberikan pembinaan, agar secara politik mereka setia Pancasila, NKRI, dan UUD '45," ujar Abdul di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Senin (10/2).
Jika secara ideologi mereka belum layak dianggap setia pada Pancasila, ia menambahkan, maka perlu rehabilitasi dan pembinaan politik. "Tapi jangan ditolak masuk ke Indonesia," katanya.
Menurut Abdul, solusi karantina deradikalisasi merupakan jalan tengah dalam menyelesaikan polemik pemulangan kombatan ISIS.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar NU Said Aqil Siroj menegaskan penolakan pemulangan mereka. "Saya tolak. Saya tidak setuju. Mereka sudah meninggalkan negara. Mereka sudah membakar paspornya," ujar Said di gedung PBNU, Jakarta Pusat.
Said Aqil menjelaskan, Indonesia tidak perlu ramah menerima rencana kepulangan kombatan yang ikut bergabung mendirikan Negara Islam di Irak dan Suriah itu. "Mereka pembunuh, pembantai, pemerkosa. Ngapain diramahin," ujarnya.
Pemulangan eks ISIS ini masih dalam kajian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Presiden Joko Widodo yang secara pribadi menolak pemulangan eks ISIS masih menunggu hasil kajian dan akan diputuskan dalam ratas kementerian pada Juni mendatang.
Iwan Abdul Gani