Menteroriskan Muhammadiyah (Pengamat Teroris. "Mantan Napi Teroris 90% Memiliki Background Muhammadiyah")
29 Mei 2018 10:41 WIB | dibaca 1097
Foto Iwan Andul Ghani
Ketika Din Syamsuddin hadir dalam acar ILC bertajuk Duka Kita tertanggal 15 Mei 2018, dia memberi penjelasan dengan terang benderang bahwa, Alkaidah, ISIS adalah bentukan Ameriaka. Saat itu dalam hati saya berkata bahwa, sebentar lagi Muhammadiyah akan dihajar dengan berbagai fitnah. Alasan saya pertama, sebelum Din Syamsuddin berbicara seperti itu, narasi menteroriskan Muhammadiyah sudah tersiar, yang kedua, Muhammadiyah selama ini tampil terdepan dalam memberi bantuan hukum kepada keluarga Suyono, terduga teroris yang ditembak mati dan sampai sekarang belum tuntas kasus hukumnya
Hari ini Senin 28 Mei 2018 saya membaca sebuah tautan berita dari suaraislam.co dengan judulnya “Pengamat Terorisme: Mantan Napi Teroris 99 Persen Memiliki Background Muhammadiyah”.
Bagi saya yang biasa menulis berita, walaupun tergolong baru, saya tidak terlalu kaget, karena dari judulnya saja sudah tidak masuk akal, angka 99% dalam riset terhadap kasus teroris bagi saya itu mustahil. Mengapa? Karena pertama, lembaga yang melalukan riset juga tidak terkenal, kedua, bagaimana mingkin dia bisa punya akses terhadap pelaku teroris yang kejahatannya extra ordinary crime? Ketiga, pengamat. Saya rasa orang yang cerdas akan bisa menilai bahwa namanya pengamat memang begitu, tidak usah jauh-jauh, contohnya pengamat sepak bolah, bicaranya pintar, namun diminta memainkan bola belum tentu bisa
Nama pengamat itu Muhammad In’am Amin, konon katanya dia adalah Direktur Program Yayasan Lingkar Perdamaian. Dalam acara bertajuk “Terorisme dan Hate Speech: Tragedi Kemanusiaan dan Bayang-bayang Politik” yang diselenggarakan Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU).
Jika benar pernyataan In’am Amin demikian, yang konon hasil risetnya menyimpulkan bahwa 99% mantan Napi teroris backgroun Muhammadiyah. Dalam metodologi kesimpulan semacam ini memaksa untuk diakui sebagai sesuatu yang absolut. Hasil survey seperti ini tak mungkin dijangkau sepenuhnya.
Jika periset bersikukuh pada kesimpulan itu, katakanlah dengan argumen atau klaim bahwa ia telah menjangkau dan mengamati seluruh sampel dari populasi, maka In'am perlu menjelaskan terlebih dahulu desain dan metodologi risetnya, paling tidak, bagaimana ia merumuskan pertanyaan ihwal Muhammadiyah dan non-Muhammadiyah itu. Apakah memang sama sekali tidak ada warna organisasi lain? Apalagi jika warna itu menjadi yang paling dominan mengubah pemahaman pelaku tentang legitimasi moral (moral judgement) untuk tindakannya.
Problem berikutnya adalah soal otoritas dan akses seperti yang saya katakan di atas. Jika ia benar-benar mengambil data dari seluruh sampel napi terorisme yang ada di Indonesia, siapa yang yang memberinya akses pada 100% napi yang berhubungan dengan kasus terorisme? Lalu, apakah riset ini cukup otoritatif untuk melampaui lembaga negara seperti BIN misalnya, sehingga bisa ditarik pada satu kesimpulan riset yang valid dan layak dipublikasikan?
Kedua, sepertinya pemberitaan suaraislam.co mengandung sentimen yang kurang baik karena terjebak pada narasi ‘men-teroris-kan Muhammadiyah’. Narasi yang sebenarnya tidak sama sekali baru, karena kerap diembuskan banyak pihak untuk memberi garis bahwa Muhammadiyah itu ‘keras’ dan lebih potensial melahirkan radikalisme dibandingkan organisasi Islam besar yang lain.
Apalagi, di berita itu, terbaca jelas bahwa penyelenggara acara diskusi tersebut adalah saudara kita sesama Ormas Islam bernama Nahdlatul Ulama (NU), yang maaf kerap di-branding sebagai satu-satunya ormas yang tak mungkin melahirkan teroris atau radikalis.
Di sini, ada dua kemungkinan yang bisa kita baca. Bisa jadi masalahnya tidak terletak pada siapa penyelenggara dan di mana acara tersebut diadakan, yang mengesankan kontradiksi, tetapi pada pengisi acara yang secara gegabah memberikan kesimpulan yang mengabsolutkan kesalahan satu pihak, dalam hal ini Muhammadiyah, sekaligus menihilkan kesalahan pihak lain, non-Muhammadiyah.
Angka 99% dari sebuah riset adalah upaya mengabsolutkan kebenaran dan ia pasti problematis karena pada saat bersamaan sekaligus menihilkan kebenaran yang lain. 1% dalam sebuah riset sosial adalah angka yang menggelikan.
Namun, kemungkinan kedua adalah media atau paling tidak jurnalis yang menulis berita itu. Cara berita ini ditulis bagi saya sangat bermasalah. Jika tidak dimaksudkan dengan sengaja melakukan ‘contrasting’, penulisnya terjebak pada struktur narasi yang hitam-putih.
Terlepas dari apa yang disampaikan oleh dua narasumber utama (seperti tertulis di berita itu), yakni In’am Amin dan Santoso, isi berita sangat terasa diarahkan untuk memunculkan pengontrasan logika (logical contrasting) dengan penekanan (stressing) yang sungguh-sungguh untuk mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah tempat berseminya ide-ide radikal.
Hal ini bertentangan dengan semangat portal berita itu sendiri yang mendaku sebagai media yang berusaha menampilkan wajah Islam yang rahmat bagi semesta, memerangi hoaks dan menangkal citra buruk Islam. Pemberitaan ini justru potensial menciptakan polemik dan pemahaman yang mis-leading di tengah masyarakat.
Terkait siapa saja yang terkait dengan narasi menggelikan tersebut anda seharusnya banyak mengkaji lebih mendalam agar pemahaman Anda tidak pragmatis terhadap Muhammadiyah
Yang jelas bahwa narasi ini merupakan fitnah, karena pelaku teroris bukanlah reperesentasi dari Muhammadiyah, kemungkinan mereka pernah sekolah atau bekerja di Amal Usaha Muhammadiyah
Jadi mengait-ngaitkan terduga teroris dengan Muhammadiyah adalah fitnah karena ketidak fahaman atau bisa jadi ada sentimen tertentu terhadap Muhammadiya
Kepada yang pembuat narasi tersebut. Agar Anda tahu bahwa, Setya Novanto yang terpidana mega korupsi E KTP punya Karta NU yang diberi langsung oleh PBNU apakah kami memvonis NU terlibat skandal mega korupsi E KTP? Tentu tidak begitu. Karena kami tahu bahwa itu fitnah.
Muhammadiyah bukan Ormas kacangan, bukan Ormas kemarin sore. Muhammadiyah sudah terbiasa dengan bernagai macam fitnah sejak awal berdirinya. Sang pendiri dicap sebagai Kiyai Kafir, pengikutnya dicap sebagai "Wahhabi", namun sampai sekarang Muhammadiyah tetap berdiri tegak.
Jadi, marilah kita pakai akal sehat untuk menyikapi segala persoalan yang melanda negeri ini, kita harus duduk bersama mencari solusi untuk bangsa ini bukan membuat narasi sesat yang justru menimbulkan permasaalahan baru.
Tuban, 28 Mei 2018
Iwan Abdul Gani