Iwan Abdul Gani ketika menyampaikan khutbah juma'at di Masjid Darussalam
TAHUN 2018 adalah tahun politik menjelang digelarnya Pilpres 2019 yang akan datang, yang pasti akan memanaskan suhu politik Tanah Air. Dalam situasi seperti ini, sejatinya kata-kata yang keluar dari lisan para politisi adalah sarana mengembangkan kesadaran kemanusiaan untuk menyampaikan kebenaran dan keyakinan positif.
Hal tersebut disampaikan oleh Iwan Abdul Gani, anggota Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tuban dalam khutbahnya di Masjdi Darussalam Tuban, Jumat (16/11/2018).
Dia mengatakan bahwa dalam Islam, diatur juga tentang komunikasi yang baik, maka sebagai politisi yang berislam apa lagi sebagai tokoh panutan mestinya mengeluarkan kata-kata yang sejuk, yang menyenangkan, bukan kata-kata yang meresahkan umat.
“Yang pertama, qaulan syadida yaitu bertutur kata yang jujur, lawannya berkata dusta. Kita selalu menderngar tiap jumat khotib memulai khutbahnya dengan menyeru umat untuk qaulan syadida. Dalam kenyataannya kita jumpai ada yang dengan mudahnya berbohong” ucap Iwan
Selanjutnya dia mengatakan bahwa, di samping berkata jujur (qaulan syadida) ada juga qaulan ma’rufa yaitu perkataan yang ketika diucapkan, maka orang lain akan memahami bahwa itu perkataan yang baik.
“Saya kasih contoh yang lokal saja agar mudah difahami, dalam Bahasa Jawa terdapat tingkatan, contohnya, Makan, kata ini dalam bahasa Jawa penyebutannya bermacama-macam, ada dahar, mangan, maem, nedo dan badok. Dari semua kata itu, artinya sama, yaitu makan, namun ketika semuanya diucapkan, tentu masyarakat Jawa akan menilai bahwa dahar dan maem adalah perkataan yang baik, ini yang disebut qaulan ma’rufa.” Tuturnya
Sebagai tokoh masyarakat yang dijadikan panutan mestinya mereka menjaga ucapannya, tidak layak kalau mengatakan pada orang lain dengan pensifatan yang menimbulkan keresahan
“Sekarang ini muncul istilah politik Kebun Binatang. Hal ini karena ulah para politisi itu yang menyebabkan masyarakat saling memberi gelar, ada gelar cebong, kampret dan lain-lain.” Ujar Iwan
Komunikasi yang baik berikutnya menurut Iwan adalah qaulan baligoh, yaitu perkataan yang tepat sasaran, waktunya pas, tempatnya tepat.
“Niat kita baik untuk beramr ma’ruf nahi mungkar tetapi ketika hal itu dilakukan tidak pada waktu dan tempat yang tepat, bisa berdampak yang tidak baik, contoh, ada tukang becak yang saat jum’at, dia nongkrong di atas becaknya, kita datangi dia dan mengatakan anda kafir karena tidak melaksanakan shalat. Dalilnya benar bahwa, meninggalkan shalat itu kafir, tetapi yang dilakukan itu tidak qaulan baligoh.” Pungkas Iwan
Di akhir khutbahnya Iwan mengatakan bahwa, sebagai orang yang merasa diri muslim, panutan bagi orang lain, seharusnya bertutur kata yang baik, yang santun, yang menyejukkan, bukan tutur kata kata yang menimbulkan polemik di msyarakat yang membuat masyarakat resah.
“Lidah itu salah satu potensi yang mendatangkan bencana bagi peradaban manusia, maka sebagai seorang mukmin yang taat harus menjaganya dengan baik. ” Imbuhnya.
Seorang politisi yang telah mampu berbicara baik, hakikatnya telah melakukan personal branding bagi dirinya. Selanjutnya menumbuhkan reputasi baik bagi dirinya bahkan bagi hadirnya Indonesia yang lebih berkemajuan. (Mumtaz)